Wednesday, August 5, 2015

HANABITA Child Development Centre

Untuk mengembangkan pelayanan di bidang pendidikan dan anak-anak, Hanabita saat ini membuka Pusat Perkembangan Anak (Child Development Centre) di daerah Cinangka, Sawangan, Depok, Jawa Barat. Layanan yang tersedia yaitu preschool (PG-TK), daycare (penitipan anak), klinik tumbuh kembang, serta bimbingan belajar. 

HANABITA PRESCHOOL
Saat ini Hanabita telah membuka Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak. Di Hanabita Preschool kami mendesain kurikulum agar mampu menstimulasi anak secara optimal melalui berbagai macam permainan serta berbagai kegiatan yang dilakukan. Satu guru maksimal memegang 5 murid, sehingga perkembangan murid benar-benar terpantau. Untuk keterangan lebih lanjut silahkan hubungi 021-97900780 atau membuka link berikut www.hanabita.weebly.com

HANABITA DAYCARE
Jika anda adalah orangtua bekerja dan tidak memiliki orang yang dipercaya untuk menjaga anak anda, maka Hanabita Daycare merupakan pilihan yang tepat. Di Hanabita kami tidak hanya menjaga anak anda, melainkan membimbing dan mendidik agar anak senantiasa mandiri, memantau tumbuh kembangnya, serta memperhatikan asupan gizi anak anda. Perbandingan fasilitator dan anak di Hanabita maksimal 1:3 (Satu Fasilitator maksimal membimbing 3 anak). Hanabita Daycare terletak di Jalan Pahlawan Cinangka, Sawangan, Depok. Berbatasan dengan Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Sehingga jika anda tinggal di daerah ciputat, pondok cabe, pamulang ataupun cireundeu, maka Hanabita Daycare masih terjangkau dalam hitungan menit. Keterangan lebih lanjut silahkan membuka web berikut www.hanabita.weebly.com

KLINIK TUMBUH KEMBANG
Hanabita memiliki team yang terdiri dari psikolog, dokter, dan terapis yang akan membantu orangtua dalam memecahkan masalah tumbuh kembang anak. Team kami akan melakukan screening, memeriksa, mendiagnosis, memberikan konseling, serta treatment yang diperlukan oleh anak.

BIMBINGAN BELAJAR
Hanabita juga membuka program bimbingan belajar meliputi les bahasa inggris, les membaca menulis berhitung (calistug), serta mengaji.




Wednesday, August 13, 2014

Apa dan bagaimana : 'Child Abuse and Neglect?'


Bapak Fulan dan ibu Fulan adalah pasangan yang dikaruniai 2 orang anak usia 8 dan 10 tahun. Kebetulan kedua anaknya laki-laki. Sebagai orang tua , Bapak Fulan dan ibu Fulan terobsesi anaknya menjadi anak yang penurut dan berprestasi di sekolah. Karenanya kedua anak tersebut didik dengan keras dan penuh disiplin. Setiap ada ketidak-disiplinan ada resiko hukuman yang harus ditanggung. Hukuman fisik berupa pukulan dengan tangan kosong atau mistar, sentilan atau cubitan. Belum lagi dikurung di kamar yang ventilasinya kurang baik dengan jatah makan yang dikurangi. Untuk hukuman fisik Bapak Fulan acapkali melakukanya, sementara bu Fulan lebih sering marah atau ngomel dengan perkataan kasar dan merendahkan anak. Ketika sang anak nilai ulangannya kalah bagus dengan anak yang lain, Bu Fulan sering membandingkan dengan anak lain, perkataan bodoh, tolol dan dunggu acapkali terlontar.” Mau jadi apa kamu kalau sudah besar”, demikian sering terlontar kalau sang ibu sedang marah. Sikap keras dalam mendidik anak membuat sang anak menjadi sosok yang introvert dan menarik diri. Di sekolah, kedua anaknya dikenal sebagai pribadi nyang rendah diri murung dan cenderung menarik diri. Suasana hatinya jelas tertekan. Tanpa disadari kedua anak tersebut telah mengalami perlakuan salah atau dikenal sebagai child abuse…

Apa yang dimaksud dengan child abuse and neglect ?
Child abuse and neglect atau di bahasa-indonesiakan sebagai perlakuan salah dan penelantaran anak mempunyai beragam definisi. Dalam perkembanganya definisi bereubah-rubah karena makin luasnya cakupan, di Indonesia Child abuse and neglect diartikan sebagai semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, ekploitasi komersil yang mengakibatkan cedera/ kerugian nyata atau potensial terhadap kesehatan anak dalam kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang dilakukan orang dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayan dan kekuasaan. Panjang dan mencakup banyak hal, bukan ?

Jadi bukan semata-mata kekerasaan fisik saja ?
Ya, seperti yang kita baca dari definisi diatas, tidak hanya kekerasan fisik tapi juga emosional, seksual dll. Selama ini orang memang banyak mengaitkan dengan kekerasan fisik saja. Dengan cakupan yang luas tadi, sangat mungkin banyak diantara kita yang diam-diam tau tanpa kita sadari melakukan perlakuan salah terhadap anak. Yang cukup sering adalah kekerasan emosional karena banyak orang tua kalau sudah marah terhadap anak sering tanpa disadari mengucapkan kata kasar atau kata-kata yang merendahkan/menyakitkan anak. Atau ketika kesal dengan tingkah polah sang anak, tak jarang cubitan,jeweran, sentilan, bahkan terkadang sampai pukulan diterima sang anak.

Dimana saja perlakuan salah dapat diterima oleh seorang anak?
Perlakuan salah dapat terjadi di dalam keluarga dan di luar keluarga. Di dalam keluarga dilakukan oleh orang tua, kakak bahkan pengasuh. Di luar keluarga dapat terjadi di sekolah (bulying), asrama, tempat kerja, di jalanan dan juga di medan konflik/perang, di luar rumah atau keluarga. Hal tersebut dapat dilakukan oleh teman, seniornya, guru, petugas negara, majikan dsb

Bisa dijelaskan lebih lanjut bentuk atau jenis perlakuan salah terhadap anak?
Bentuk atau jenis perlakuan salah terhadap anak dapat beripa penganiayan fisik, penganiayaan emosional, penganiayaan seksual dan pelalaian. Penganiayaan fisik mengakibatkan cedera fisik karena hukuman badan, kekejaman atau peracunan. Penganiayaan emosional dapat berupa amarah, melontarkan kata-kata kasar, merendahkan atau melecehkan anak. Penganiayaan seksual berupa pelecehan seksual sampai berhubungan seksual dengan anak termasuk pedofili, pelacuran di bawah umur, incest dsb. Kelalaian terhadap anak termasuk pemeliharaan kesehatan yang kurang memadai, pengawasan ortu yang kurang, kelalaian dalam pengobatan anak, juga kelalaian dalam memberikan pendidikan yang layak terhadap anak.

Apa saja faktor yang membuat ortu melakukan perlakuan salah terhadap anak ?
Ada faktor resiko dari ortu sehingga rentan untuk melakukan perlakuan salah terhadap anak. Hal tersebut antara lain : ortu yang melakukannya sebagai pelampiasan frustasi, ortu dengan riwayat pelanggaran hukum atau residivis (judi,alkoholik,narkoba,kriminal), orang tua yang menganggap anak sebagai saingan orang tua terutama ibu yang kawin dan melahirkan dalam usia yang masih belia dan orang tua dengan riwayat child abuse pada masa kecilnya.

Apa akibat dari perlakuan salah terhadap anak? 
Banyak akibat yang ditimbulkan dari child abuse and neglect. Akibat fisik akan didapat trauma fisik seperti lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang dan sebagai berikut. Juga dapat di jumpai sekuele atau cacat sebagai akibat trauma misal adanya jaringan parut, gangguan pendengaran, kerusakan mata dan kecacatan lain. Akibat yang fatal dari perlakuan salah pada anak adalah kematian, dimana pada kasus kematian tsb orang tua atau pihak yang diduga melakukannya tidak dapat menjelaskan dengan logis penyebab kematiannya.

Apa akibatnya pada tumbuh kembang anak?
Anak yang mengalami child abuse and neglect pertumbuhannya umumnya terlambat, selain itu perkembangan emosionalnya juga mengalami kelambatan atau gangguan. Anak tidak dapat mengembangkan kecerdasannya, juga anak tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri, apatis, atau sebaliknya menjadi pribadi yang agresif. Pada anak dapat tumbuh konsep diri bahwa dia pribadi yang tidak berguna atau tidak dicintai. Bila dibiarkan perasaan demikian dapat menjurus kepada keinginan bunuh diri.

Bagaimana mengetahui kemungkinan anak telah mengalami penganiayaan seksual?
Kita curigai hal tersebut bila kita menemukan hal-hal sebagai berikut : adanya trauma atau infeksi local pada daerah anus/kelamin atau sekitarnya yang mengakibatkan timbulnya nyeri perineal, keluarnya cairan dari vagina atau nyeri disertai perdarahan di daerah anus. Akibat lain adalah dampak secara emosional : konsentrasi belajar berkurang, tidak bisa mengontrol bak/bab-nya (eneuresis atau enkoperesis) sampai timbul perubahan perilaku misalnya anak tiba-tiba menjadi pendiam, menarik diri dan menjadi murung. Satu hal yang dikhawatirkan adalah anak yang pernah mengalami penganiayaan seksual seperti disodomi, kelak di kemudian hari dia akan melakukan hal yang sama pada anak lain. Fenomena ini sering ditemukan pada komunitas anak jalanan.

Apa yang harus dilakukan pada anak yang mengalami perlakuan salah dan penelantaran?
Dokter atau tenaga kesehatan tentunya harus melakukan diagnosis dengan teliti, hati-hati dan pertimbangan yang matang bila mendapatkan anak dengan kecurigaan mengalami kekerasan dan perlakuan salah. Bila kecurigaan semakin kuat atau ada saksi yang melihatnya, orang tua atau pihak yang melakukannya dapat dilaporkan kepada pihak yang berwenang/berwajib, anak selanjutnya diberikan perlindungan fisik maupun hukum. Bila membutuhkan perawatan medis, anak harus ditangani dan dirawat di RS. Pada saatnya anak sebagai korban dilakukan rehabilitasi dan bila orang tua dinilai tidak mampu merawat atau mengasuh, anak dapat dipelihara oleh keluarga lain atau lembaga sosial yang ada.

Saat sekarang apa ada undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap anak?
Alhamdulillah, pada saat sekarang sudah ada 2 undang-undang yang mengatur perlindungan terhadap anak yaitu UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan terakhir UU No 3 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dengan undang-undang tersebut, pelaku child abuse dapat dituntut dengan hukuman yang berat dan diharapkan dapat menimbulkan efek jera pada pelaku dan membuat calon pelaku berpikir ulang seribu kali.

Apa kendala dan tantangan dalam penanganan child abuse?

Pandangan bahwa anak sepenuhnya dalam penguasaan orang tua, sehingga orang tua menganggap kekerasan terhadap anak adalah sah-sah saja. Apalagi kalau orang tua menganggap hal itu sebagai cara dalam mendidik anaknya. Pandangan demikian dianut juga oleh lingkungan sekitarnya, sehingga lingkungan menganggap kekerasan anak dalam sebuah keluarga adalah urusan keluarga itu sendiri. Yang mencuat ke permukaan adalah orang tua yang diusut oleh polisi karena melakukan kekerasan pada anak yang berakibat fatal misal menimbulkan cedera berat atau bahkan sampai kematian. Kondisi seperti sering digambarkan sebagai fenomena gunung es (ice berg phenomen). Sangat mungkin kejadian perlakuan salah terhadap anak jauh lebih banyak, mengingat child abuse and neglect mempunyai spektrum yang luas. Tanpa kita sadari kita juga termasuk salah satu pelakunya, jangan-jangan…atau amit2 ???

Sumber: Room For Children

Thursday, September 6, 2012

PENANAMAN PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK


Tenny Septiani Rachman, M. Psi, Psi 

            Gegap gembita dan hati riang gembira menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.  Para muslimin dan muslimat mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa, shalat tarawih, taddarus Al Quran, dan aktivitas ibadah lainnya. Tidak terkecuali kita sebagai orangtua yang menjadikan Bulan Suci Ramadhan ini sebagai ajang untuk mempersungguh dan mendalami agama. Beberapa orangtua bahkan mulai memperkenalkan nilai-nilai agama kepada anaknya sejak dini, bahkan melibatkan anak dalam menjalankan aktivitas beragama dalam kehidupan sehari-hari.
            Pengalaman menjalankan ibadah suatu agama merupakan bagian dari kecerdasan spiritual yang diusung oleh ahli psikologi bernama Howard Gardner. Kecerdasan spiritual menandakan seseorang menyadari bahwa ada suatu keberadaan yang sangat besar yang mengendalikan alam semesta. Kecerdasan spiritual itu jugalah yang mendorong seseorang berperilaku baik dan benar tanpa harus disertai adanya reward atau hadiah secara konkret.
            Memberikan pendidikan agama kepada seorang anak harus dimulai dengan membentuk sikap yang positif terhadap agama tersebut. Untuk membentuk sikap positif tersebut, kita harus juga membentuk pemahaman, perilaku konkret, serta emosi yang positif terhadap agama tersebut. Oleh karena itu, terdapat langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh orangtua dalam menanamkan pendidikan agama bagi anak mereka.

1. Pahami cara berpikir anak sesuai usianya
            Menjalankan suatu ibadah sangat membutuhkan pemahaman yang solid di dalam kepala individu yang menjalankannya sehingga bukan hanya sekedar keterpaksaan. Kemampuan berpikir anak yang masih berkembang dan belum sama dengan orang dewasa menjadi hal yang patut dipertimbangkan dalam menanamkan pendidikan agama. Pemahaman agama pada seorang individu merupakan proses perkembangan yang bermetamorfosis dari masa ke masa. Pemahaman agama seorang anak balita pastilah berbeda dengan pemahaman seorang remaja, apalagi orang dewasa. Menurut James Fowler dalam buku Stages of Faith,  setidaknya terdapat 3 tahap (dari 7 tahap) perkembangan keyakinan spiritual (faith) pada anak, yaitu:
-          Pada bayi dan anak dibawah 2 tahun, tahap keyakinan spiritual mereka masih berkembang di tahap yang paling dasar (primal faith). Pada tahap ini hubungan harmonis antara orangtua dan anak dapat menjadi modal awal akan tumbuhnya keyakinan spiritual dalam diri anak. Biarkan anak merasa bahwa ia memandang lingkungannya sebagai pat tempat yang aman dan nyaman. Perkenalkan anak dengan proses saling bantu. Bantu mereka memahami bahwa apabila ia mengalami kesusahan akan ada pihak yang membantunya. Sebaliknya, anak harus berusaha membantu apabila ada orang lain mengalami kesusahan. Hal ini dapat dilakukan dengan meminta anak memberikan uang kepada pengemis walaupun ia belum memahami benar proses tersebut.
-          Pada anak usia 3 sampai 7 tahun keyakinan spiritual memasuki tahap 1. Pada tahap ini keyakinan ditandai dengan fantasi-fantasi dan mulai muncul emosi moral. Mereka masih berfikir dengan cara yang konkret. Bukan tidak mungkin mereka membayangkan konsep-konsep agama (seperti surga, neraka, malaikat, dan sebagainya) dengan situasi familiar bagi mereka. Biarkan mereka berpikir dengan cara mereka. Masih sulit bagi mereka untuk meyakini sesuatu yang tidak kasat mata karena keterbatasan cara berpikir. Sementara itu, mereka juga dapat merasakan emosi yang dirasakan orang lain. Biarkan mereka berempati dengan keadaan orang lain. Perlahan-lahan paparkan anak dengan fenomena sosial yang ada, seperti anak jalanan, pengemis, dan lain-lain. Pandulah mereka untuk menemukan solusi untuk membantu sesama.
-          Pada usia 7-12 tahun anak memasuki tahap 2. Pada tahap ini keyakinan spiritual lebih mudah dipahami apabila diberikan dalam bentuk cerita, drama, atau mitos-mitos. Anak mulai mampu berpikir logis dan dapat memisahkan antara kenyataan dan fantasi. Hindari pemberian penjelasan yang mengada-ada dan bohong kepada anak karena mereka dapat mengkritisinya. Pada tahap ini mereka sudah lebih baik dalam memahami kewajiban-kewajiban beragama dan sudah paham arti dosa dan pahala. Selain itu, ajaklah anak untuk berdiskusi mengenai suatu isu agama untuk mendengarkan pikirannya.
2. Pemberian contoh oleh orang-orang terdekat secara konsisten.
            Orangtua merupakan pihak yang paling sering menjadi role model anak berperilaku. Orangtua harus memiliki kesadaran penuh bahwa segala tindakan mereka akan dicontoh oleh anak. Contohkanlah kepada anak untuk berperilaku sesuai ajaran agama, misalnya salat tepat waktu, bersedekah, berpuasa, atau perilaku lainnya. Lakukan dengan penuh konsistensi sehingga apa yang anak pahami sejalan dengan perilaku. Singkatnya, you have to walk the talk!
3. Pemberian pujian bagi anak.
            Meningkatkan emosi positif pada anak juga merupakan hal penting untuk meningkatkan suatu perilaku yang baik. Berilah pujian atau penghargaan cukup sering lupa  diberikan oleh orangtua kepada anak karena suatu perilaku dianggap “biasa” atau “sudah seharusnya”. Berikanlah mereka pujian yang baik, seperti “anak sholeh”, “si rajin sholat”, dan sebagainya. Bukankah ucapan orangtua juga merupakan doa? Cap baik yang orangtua berikan kepada anaknya dapat turut membentuk citra diri positif si anak sehingga diharapkan mereka akan berperilaku sesuai dengan cap yang diberikan kepada mereka. Sebaliknya, cap buruk juga dapat mempengaruhi anak untuk berperilaku buruk pula.
           
            Manfaatkanlah Bulan Ramadhan kali ini sebagai momentum yang baik dalam menanamkan pendidikan agama bagi buah hati Anda. Lakukanlah dengan lembut, sabar, dan penuh kepekaan. Biarkan anak merasa bahwa agama merupakan sesuatu yang indah, melekat dalam diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan, serta terpantul dari cara pikir, gerak, dan tutur kata. 









Attachment


Image
Apakah yang dimaksud dengan attachment?
Attachment atau kelekatan merupakan satu konsep yang berkaitan dengan ikatan (bonding) antara anak dengan figur attachment. Attachment adalah sebuah ikatan afektif yang terus bertahan, yang ditandai oleh kecenderungan untuk mencari dan memelihara kedekatan dengan orang tertentu, khususnya ketika seseorang berada di bawah situasi menekan/stres (Bowlby dalam Colin, 1996). Berk (2003) mendefinisikan attachment sebagai ikatan afektif yang kuat dengan orang spesial dalam hidup, dengan keberadaan orang tersebut didekat anak maka anak akan merasa lebih nyaman saat menghadapi tekanan serta merasa senang saat berinteraksi dengannya. Attachment juga diartikan sebagai hubungan antara dua orang yang memiliki perasaan kuat satu dengan yang lain dan kedua orang tersebut melakukan sejumlah aktivitas untuk melanjutkan hubungan (Santrock, 1997). 
Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut; pertama attachment merupakan ikatan emosional (emotional bonding). Perilaku attachment yang ditunjukkan untuk memelihara ikatan tersebut adalah menangis, menyentuh, memanggil, dan tersenyum. Kedua, attachment merupakan sebuah hubungan yang berlangsung lama. Jadi, bukan merupakan kesenangan sesaat terhadap kebersamaan dengan orang lain. Ketiga, attachment ditujukan kepada orang tertentu. Orang tersebut biasanya adalah orang yang selalu ada ketika dibutuhkan dan kehilangan orang tersebut menimbulkan kerinduan. Umumnya yang menjadi figur attachment adalah orangtua, terutama ibu. 
Attachment memang tidak berkembang secara tiba-tiba tetapi terjadi dalam serangkaian tahapan. Attachment merupakan ikatan yang terpelihara sepanjang waktu, namun demikian banyak ahli yang memberikan perhatian yang lebih besar terhadap konsep tersebut selama masa-masa awal kehidupan seorang anak.

Tahapan Attachment
Menurut Bowlby (dalam Berk, 2003), hubungan antara bayi dan orangtua diawali dengan serangkaian tanda bawaan yang membuat orangtua beranjak mendekati bayi. Secara khusus, pembentukan attachment berlangsung dalam empat tahap, yaitu: 
1. Preattachment phase (lahir hingga 6 minggu). Pada tahap ini, berbagai tanda yang dibangun, seperti menangis, tersenyum, dan menatap orang dewasa, membantu bayi untuk memasuki hubungan yang dekat dengan orang lain. Sekali orang dewasa berespons, bayi berusaha untuk tetap dekat dengan orang tersebut karena ia merasa nyaman ketika digendong dan diajak bicara. Di usia tersebut, bayi mampu mengenal bau dan suara ibunya namun pembentukan attachment yang sesungguhnya belum terbentuk. Dengan demikian, respons-respons yang dilakukan bayi pada tahap ini masih belum ditujukan kepada orang tertentu. 
2. Attachment-in-the-making (6 minggu hingga 6 – 8 bulan). Dalam tahap ini, bayi secara berangsur-angsur mulai belajar untuk membedakan orang yang ia kenal dan tidak ia kenal. Bayi mulai berespons secara berbeda terhadap pengasuh dan orang yang asing baginya, misalnya ia akan berceloteh lebih bebas ketika berinteraksi dengan ibunya atau menjadi lebih bisa ditenangkan jika digendong oleh ibu. Pada masa ini, bayi mulai mengembangkan rasa percaya, yaitu harapan bahwa pengasuh akan berespons terhadap tanda-tanda yang ditampilkan bayi. Sekalipun demikian, bayi masih belum memprotes jika ibu meninggalkannya. Dapat dikatakan bahwa pada tahap ini bayi belum benar-benar melekat dengan figur attachment-nya. 
3. Clear-cut attachment (6 – 8 bulan hingga 18 bulan – 2 tahun), attachment yang spesifik mulai berkembang. Pada tahap ini, bayi secara aktif mencari kedekatan dengan orang tertentu atau figur attachment-nya. Bayi juga mulai menunjukkan kecemasan dan kekecewaan jika ditinggal oleh figur tersebut.Mereka akan memprotes kepergian orangtuanya dan secara sengaja melakukan sesuatu untuk mempertahankan kehadiran orangtua. 
4. Formation of a reciprocal relationship (18 bulan – 2 tahun dst,), hubungan attachment yang sesungguhnya telah terbentuk. Pada tahap ini, sikap protes anak pada saat ditinggalkan oleh orangtua menurun dan anak mulai dapat meramalkan kehadiran orangtuanya. Anak juga mampu memodifikasi tingkahlakunya sebagai respons terhadap tingkahlaku orangtuanya, misalnya, jika menangis saja tidak cukup untuk membuat orangtua datang menghampirinya, anak akan merangkak atau berlari menuju ke arah orangtuanya.

Klasifikasi Attachment
Secara umum, ada dua pola attachment, yaitu secure dan insecure attachment. (Ainsworth dalam Colin, 1996; Meins, 1997). Tingkahlaku mencari kedekatan dan mempertahankan hubungan merupakan ciri dari adanya secure attachment sedangkan tingkahlaku menghindar dan menentang menunjukkan adanya insecure attachment.

Efek Jangka Panjang Attachment
Tingkat keamanan (security) dalam attachment berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif dan sosial. Secure attachment berhubungan dengan tingkahlaku eksplorasi yang kompleks pada saat anak berusia dua tahun. Anak-anak dengan secure attachment memiliki minat yang kuat dan ketertarikan untuk memecahkan masalah, lebih antusias, tekun, koperatif, dan efektif dalam pemecahan masalah, memiliki ambang frustrasi yang lebih tinggi, kurang sering menangis, serta kurang menunjukkan sikap agresi terhadap ibu. Mereka juga memiliki kosakata yang lebih banyak dan lebih bisa diterima oleh teman-teman bermainnya (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Emosi mereka juga lebih positif, empati yang lebih besar, dan menggambarkan dirinya dengan cara yang lebih positif. Pada usia pra sekolah mereka akan lebih resilien, lebih bias mengembangkan empati, rasa ingin tahu tinggi, lebih percaya diri dan memiliki citra diri positif (Papalia, Olds, & Feldman). Setelah remaja, anak-anak tersebut juga menjadi lebih percaya diri, mandiri, kurang bermasalah, lebih perhatian dan aktif di dalam kelas, mempertahankan prestasi yang lebih tinggi, melakukan tugas-tugas dengan baik, memiliki hubungan yang pertemanan yang lebih stabil dan lebih baik dalam penyesuaian diri (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Attachment Parenting
Attachment parenting merupakan gaya pengasuhan intuitif yang secara aktif mendukung secure attachment melalui tingkahlaku parenting yang alamiah dan responsif. Orangtua harus percaya terhadap kemampuannya sebagai orangtua dan mengenal anaknya lebih baik dari siapapun di dunia. Untuk itu, mereka dipaksa untuk mengambil tanggung jawab sepenuhnya dalam pengasuhan anak di bulan-bulan pertama kelahiran (Breazeale, 2001 dalam Hildayani, 2007). 
Tiga praktik attachment parenting yang penting dilakukan pada masa bayi adalah breastfeeding (menyusui), cosleeping, dan babywearing. Ketiga kegiatan ini melibatkan sentuhan (touch) yang kritikal untuk bonding, yang mengarah pada pembentukan secure attachment. Menyusui merupakan cara nyata untuk mendukung sentuhan antara ibu dan bayi. Kontak antara kulit dengan kulit pada saat menyusui diyakini meningkatkan secure attachment. Menyusui merupakan cara yang lebih cepat dalam merespon kebutuhan bayi untuk minum daripada penggunaan botol susu. Cosleeping atau menemani anak tidur juga meningkatkan kesempatan untuk melakukan kontak dari kulit ke kulit selama malam hari (Hildayani, 2007). Kegiatan ini bahkan tidak hanya dapat dilakukan dengan ibu, tetapi juga dengan ayah. Babywearing merupakan kegiatan menggendong bayi dengan kain gendongan, baby wrap, dan sebagainya. 


Widya Rostin Setiady M.Psi

Tuesday, July 10, 2012

Children Learn What They Live
By Dorothy Law Nolte, Ph.D.

If children live with criticism, they learn to condemn.
If children live with hostility, they learn to fight.
If children live with fear, they learn to be apprehensive.
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves.
If children live with ridicule, they learn to feel shy.
If children live with jealousy, they learn to feel envy.
If children live with shame, they learn to feel guilty.
If children live with encouragement, they learn confidence.
If children live with tolerance, they learn patience.
If children live with praise, they learn appreciation.
If children live with acceptance, they learn to love.
If children live with approval, they learn to like themselves.
If children live with recognition, they learn it is good to have a goal.
If children live with sharing, they learn generosity.
If children live with honesty, they learn truthfulness.
If children live with fairness, they learn justice.
If children live with kindness and consideration, they learn respect.
If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them.
If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live.